Sabtu, 28 Februari 2009

Percaya Diri Cegah Kesurupan

Rasa percaya diri dalam menghadapi setiap pengaruh negatif dari luar diri sendiri akan dapat mencegah kemungkinan mengalami kesurupan.
"Kita bisa membangun sugesti kalau kita bisa berdiri sendiri untuk mengatasi setiap persoalan yang muncul," kata Konsultan SDM Universitas Wangsa Manggala, Dr Alimatus Sahrah Msi MM dan psikolog Indrayanti SPsi MPsi di Yogyakarta, Minggu.

Kesurupan hanya bisa dilawan oleh diri sendiri. Peran konseling sebagai penyelamat pun akan bergantung pada keinginan orang yang bersangkutan untuk mau menangkis setiap pengaruh buruk yang muncul.

"Kesurupan memang sangat bergantung pada keinginan yang bersangkutan, karena bila ditinjau dari ilmu psikologi, kesurupan merupakan pelampiasan dari tekanan psikologis yang dialami oleh alam bawah sadar seseorang," kata Alimatus.

Masyarakat hingga kini masih percaya hal itu terjadi karena ada sebuah `kekuatan` dari luar yang merasuki tubuh seseorang. Namun sesungguhnya segala sesuatu yang menimpa seseorang itu lebih disebabkan oleh persoalan internal orang itu sendiri.

"Buktinya, ada yang kesurupan tetapi ada juga yang tidak," katanya.

Ia mengaku tidak meragukan keberadaan makhluk lain di alam ini, tetapi manusia tidak akan semudah itu terpengaruh `lingkungan yang buruk` dan ini cenderung merupakan ekspresi dari akumulasi permasalahan yang mengendap di dalam dirinya.

Seperti fenomena gunung es, setiap orang memiliki permasalahan yang tampak sedikit di permukaan tetapi sesungguhnya sangat luas di dalam.

Masalah yang dipendam terus menerus akan terakumulasi seiring berjalannya waktu dan menjadi bahaya laten yang tinggal menunggu pelatuk untuk memicunya ke luar.

"Ketika satu permasalahan terbesar muncul, masalah tersebut berubah menjadi pelatuk dan segera memuntahkan peluru-peluru masalah yang terakumulasi, mengekspresikan segala sesuatu yang bermasalah di dalam dirinya," katanya.

Sementara menurut Indrayanti, kesurupan dapat terjadi manakala terjadi disharmonisasi antara `id` (dorongan, nafsu), `ego` (prinsip realitas) dan `superego` (nilai-nilai yang berlaku). Pada saat itu seseorang mengalami kekalutan mental, mudah kehilangan kendali dan akhirnya melakukan hal-hal yang tidak realistis.

Seseorang pada kondisi itu bisa mengalami `transferens` yakni pemindahan kendali dirinya oleh orang lain, sensitif atau terlalu peka dalam memaknai kejadian terakhir sehingga menjadi standarisasi/anggapan, terngiang-ngiang dan akhirnya cenderung memaknai setiap rangsangan yang masuk dengan hal yang sama.

"Selain itu, ada pula `simple projection`, yaitu rasa bersalah berlebihan yang akhirnya mempengaruhi tingkah laku kurang positif," ujarnya.

Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi reaksi itu adalah kepribadian rapuh. Apabila seseorang memiliki kepribadian kuat, reaksi itu tidak akan muncul.

"Menurut Sigmun Freud, ketika seseorang sedang dalam kondisi demikian, alam bawah sadar lebih banyak berperan, sehingga segala sesuatu yang ada terasa tidak seperti yang ia inginkan," ujarnya.

Kepribadian yang rapuh bukan sebuah kondisi tiba-tiba tetapi merupakan kumpulan, meskipun pada proses pengumpulan tersebut seseorang tidak sadar sudah terkena benturan yang terus menerus.

Dia mengingatkan, pribadi rapuh berawal dari tidak terlatihnya orang tersebut untuk bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri selama menjalani kehidupan.

Pribadi rapuh cenderung selalu dilindungi dan menggantungkan diri pada orang lain serta tidak memmiliki kepercayaan terhadap dirinya sendiri.

"Dalam hal ini, lingkungan termasuk orang tua memiliki andil untuk membentuk pribadi anaknya menjadi pribadi yang mandiri," ujarnya.

Dengan kasat mata, kata dia, seseorang yang memiliki kepribadian semacam ini dapat dilihat ketika sedang menghadapi masalah. Mereka cenderung berpikiran negatif, mudah mengeluh dan tidak tahan banting.

Agar terhindar dari segala kemungkinan negatif ini, setiap orang harus memiliki penyaluran dalam mengekspresikan emosi tersebut hingga permasalahan yang dihadapi tidak terendap di dalam dirinya, kemudian menjelma menjadi bahaya laten yang dapat mengancam sewaktu-waktu.

Selain itu setiap orang semestinya memiliki kontrol diri yang baik, dapat mempertimbangkan setiap langkah yang akan diambil.

"Kontrol diri ini bisa dilatih, ego diperkuat sehingga orang bisa lebih mampu menghadapi kenyataan," katanya. (*/rit)

(http://www.kapanlagi.com/h/0000109936.html)

Uang menjadi Tuhan

Tentang uang, kita jadi gamang. Malu-malu kucing. Cinta-cinta benci. Tak ada orang mau disebut rakus akan uang, meski di brankasnya tidur nyenyak atau meringkuk miliaran, atau bahkkan trilyunan dolllar, atau Euro.

Orang bisa tertawa bahagia karena uang. Tidak kurang-kurang jumlah orang yang wajahnya jadi gelap gulita sepanjang usia, gara-gara uang. Uang bisa membuat orang marah, pusing, atau lega. Bisa membuat orang bersiul, berteman, berantem, atau saling mencurigai. Di kalangan bawah, uang bisa membuat mereka jadi orang amat sabar, jadi teroris, pengemis, atau menjadi orang mudah heran. Di kalangan tengah dan atas, uang bisa membuat mereka menjadi penderma sejati (sedikit ) atau menjadi pembohong (banyak).

Jadi, apa sejatinya uang? Mungkin kita bingung menjawabnya. Paling banter, kita hanya bisa menjawab kata-kata padanannya. Arto. Yatra. Duit. Fulus. Geld. Money. Dan seterusnya. Yang jelas, kalau mau jujur, kita sibuk begini atau begitu dengan seribu satu alasan itu, kadang-kadang ujungnya ya cuma sekedar mencari uang. Tak ada yang keliru di sini. Cari uang jadi keliru, ketika uang akhirnya jadi segalanya. Jadi dewa. Jadi Tuhan. Jadi Yang Mahakuasa. Dan agaknya, hal macam inilah yang saat ini kita hidupi. Meski mungkin tanpa kita mengerti. Tidak mengerti tidak apa-apa. Asal masih bisa merasa. Nah, sejenak mari kita rasakan, bagaimana uang bisa merangkak dan akhirnya menjadi "Tuhan".

Uang hadir di mana-mana. Juga menyengat otak kita! Ia menyergap tiap sudut kehidupan. Dewasa ini ia bukan cuma hadir, bahkan menjajah. Penjajahannya kian luas dan dahsyat sehingga menjadi "Tuhan". Ini bukan ibarat, tapi nyata. Uang betul-betul jadi Mahakuasa yang Nyata. Juga, ini tak bersangkutpaut dengan tercetaknya kata Tuhan dalam mata uang, misalnya dolar. Sebab, maksud yang sebenarnya mengingatkan tiap pemegang uang akan Tuhan, rupanya telah gagal. Bukannya orang makin ingat Tuhan. Uang justru menjadi "Tuhan" yang lain. O, kekeliruan peradaban yang dahsyat!

(mangeben.multiply.com)